RIO AKBAR
Jumat, 21 Juli 2017
Senin, 08 Desember 2014
Sabtu, 07 Juni 2014
IMAM BONJOL
Nama
: Anisa Wulansari
Kelas
: XI IPA 1
Tuanku
Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol
(lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan
di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama,
pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838.[1] Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.[2]
Nama dan gelar
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad
Shahab, yang lahir di Bonjol pada tahun 1772.
Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya,
Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai
Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[3] Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat,
Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin
Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah
seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya
sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih
dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Riwayat perjuangan
Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis
dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821)
praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan
dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk
menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah
(Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah
Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang
tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung
beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak
sesuai dengan Islam (bid'ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat.
Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung
bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung
pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah
dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah
terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821,
kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian
yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek
(pedalaman Minangkabau).[4] Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga
dinasti kerajaan Pagaruyung di
bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar
yang sudah berada di Padang waktu itu.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh
pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah
Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri
dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup
tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab
itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch
mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku
Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824.
Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam
menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar
sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Namun, sejak awal 1833
perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda,
kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan
akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. [5] Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai
dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah
yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah
(Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum
Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam
ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa
dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh
kita. Bagaimana pikiran kalian?).[5]
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol
oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16
Maret-17 Agustus 1837)[6] yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira
Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang
terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira
pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor
Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz.
dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant
Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan
Merto Poero.
cut nya dien
Nama
: Iin Indriani
Kelas
: XI IPA 1
Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908;
dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia
dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh.
Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim
Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum
pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat
marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut
Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar
memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk
menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang.[1] Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku
Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di
pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua
dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama
Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.[2][3] Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di
sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya menambah
semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan dengan pejuang Aceh
yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien
meninggal pada tanggal 6 November 1908
dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Kehidupan
awal
Cut Nyak Dhien
dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI
Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia,
seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati,
perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati mungkin
datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.
Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau[2][4]. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang
Lampagar.
Pada masa kecilnya, Cut
Nyak Dhien adalah anak yang cantik.[2] Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang
dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani
suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang
tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha
melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun
1862
dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga[2][4], putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki
satu anak laki-laki.
Perlawanan
saat Perang Aceh
Rencong merupakan senjata tradisional milik Suku Aceh. Cut Nyak Dhien menggunakan Rencong sebagai salah
satu alat perang untuk melawan para tentara Kerajaan Belanda pada saat Kerajaan Belanda menyerang Kerajaan Aceh dan membakar Masjid Raya Baiturrahman
di tahun 1873.
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke
daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874),
Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan
Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler.
Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler,
dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman
dan membakarnya. Kesultanan Aceh dapat
memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang mbertarung di garis depan
kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April
1873.
J.B. van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam
penyerangan di Perang Aceh
Pada tahun 1874-1880,
di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun
1874.
Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya
pada tanggal 24 Desember 1875.
Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga
bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat
marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.[2]
Teuku Umar, tokoh
pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak.
Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan
perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar
pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan
Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan
Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
Selasa, 28 Januari 2014
CONTOH DONGENG BAHASA SUNDA
CONTOH DONGENG BAHASA SUNDA
Posted in
23.30
CONTOH DONGENG BAHASA SUNDA
Dongeng
Bahasa Sunda " Si Kabayan Dicukur"
si kabayan teh kandulan pisan. ari kandulan teh jahe=jago he-es (beuki sare), teu kaop nyangkere atawa nyarande sok ker wae kerek.
sakali mangsa si kabayan teh di cukur. di cukurna handapeun tangkal gede disisi jalan supratman. ari tukang cukur teh ruruntuk dalang, tadina hayang jadi dalang tapi teu kataekan, kalah jadi tukang cukur. teu wudu payu nyukurna teh da eta ari nyukur sok bari ngadalang.
si kabayan ti barang gek diuk dina korsi panyukuran geus lelenggutan wae nundutan. saperti biasa tukang cukur teh ari ceg kana gunting jeung sisir tuluy wae ngabuih… ngadalang, pok na teh…. “tah kacatur keun di nagara alengka, rajana jenengan Dasamuka…. ari dasa hartina sapuluh… ari muka eta hartosna beungeut atanapi raray… “. si kabayan nu keur ngalenggut ngarasa ka ganggu ku nu keur ngadalang, bari heuay si kabayan nyarita “pondokeun wae mang…” trek-trek tukang cukur teh ngaguntingan buuk si kabayan bari pok deui… ” ari geus kitu… eta Dasamuka teh bogoh ka dewi Sinta, geureuhna sri Rama… ” “pondokeun wae mang…”ceuk si kabayan nyaritana selang seling antara inget jeung heunteu bakating ku tunduh, teu lila reup deui sare….. lilir sakeudeung, tukang cukur teh keur ngadongeng keneh, ..” urang tunda dewi Sinta nu keur di Alengka, sabab di paling ku Rahwana…. caturkeun sri Rama….” si kabayan asa ka ganggu sarena terus nyarita bari lulungu “pondokeun mang….”….terus reup deui peureum. trek..trek tukang cukur ngaguntingan buuk si kabayan bari nuluykeun ngadongengna. ari tiap si kabayan lilir, tukang cukur teh keur ngabuih keneh wae ngadalang, tapi ari leungeunna mah tetep teu eureun-eureun ngaguntingan buuk si kabayan. si kabayan keuheuleun pisan sabab sarena kaganggu ku sora tukang cukur, nu sakapeung sok ngagerem nurutan sora buta atawa ngajerit nurutan sora dewi sinta basa di paling ku Rahwana… antukna si kabayan ngambek ka tukang cukur bari nyarita ” ceuk aing ge pondokeun…pondokeun…” tukang cukur nembalan “dipondokeun kumaha ieu geus lenang kieu..” ari ret si kabayan kana eunteung enya wae sirahna geus gundul teu sa lembar-lembar acan, puguh wae si kabayan teh ambek “nu dipondokeun teh dongeng maneh lain lain buuk aing…” si kabayan morongos, tukang cukur nembalan bari nyentak “bongan sorangan, naha atuh sare wae batur di gawe teh, lain nuhun di embohan ku dongeng teh…” ngan hing wae si kabayan teh ceurik bakating ku handeueuleun jaba ari balik ku barudak di poyokan bari di abring-abring “…penjol….penjol….”
si kabayan teh kandulan pisan. ari kandulan teh jahe=jago he-es (beuki sare), teu kaop nyangkere atawa nyarande sok ker wae kerek.
sakali mangsa si kabayan teh di cukur. di cukurna handapeun tangkal gede disisi jalan supratman. ari tukang cukur teh ruruntuk dalang, tadina hayang jadi dalang tapi teu kataekan, kalah jadi tukang cukur. teu wudu payu nyukurna teh da eta ari nyukur sok bari ngadalang.
si kabayan ti barang gek diuk dina korsi panyukuran geus lelenggutan wae nundutan. saperti biasa tukang cukur teh ari ceg kana gunting jeung sisir tuluy wae ngabuih… ngadalang, pok na teh…. “tah kacatur keun di nagara alengka, rajana jenengan Dasamuka…. ari dasa hartina sapuluh… ari muka eta hartosna beungeut atanapi raray… “. si kabayan nu keur ngalenggut ngarasa ka ganggu ku nu keur ngadalang, bari heuay si kabayan nyarita “pondokeun wae mang…” trek-trek tukang cukur teh ngaguntingan buuk si kabayan bari pok deui… ” ari geus kitu… eta Dasamuka teh bogoh ka dewi Sinta, geureuhna sri Rama… ” “pondokeun wae mang…”ceuk si kabayan nyaritana selang seling antara inget jeung heunteu bakating ku tunduh, teu lila reup deui sare….. lilir sakeudeung, tukang cukur teh keur ngadongeng keneh, ..” urang tunda dewi Sinta nu keur di Alengka, sabab di paling ku Rahwana…. caturkeun sri Rama….” si kabayan asa ka ganggu sarena terus nyarita bari lulungu “pondokeun mang….”….terus reup deui peureum. trek..trek tukang cukur ngaguntingan buuk si kabayan bari nuluykeun ngadongengna. ari tiap si kabayan lilir, tukang cukur teh keur ngabuih keneh wae ngadalang, tapi ari leungeunna mah tetep teu eureun-eureun ngaguntingan buuk si kabayan. si kabayan keuheuleun pisan sabab sarena kaganggu ku sora tukang cukur, nu sakapeung sok ngagerem nurutan sora buta atawa ngajerit nurutan sora dewi sinta basa di paling ku Rahwana… antukna si kabayan ngambek ka tukang cukur bari nyarita ” ceuk aing ge pondokeun…pondokeun…” tukang cukur nembalan “dipondokeun kumaha ieu geus lenang kieu..” ari ret si kabayan kana eunteung enya wae sirahna geus gundul teu sa lembar-lembar acan, puguh wae si kabayan teh ambek “nu dipondokeun teh dongeng maneh lain lain buuk aing…” si kabayan morongos, tukang cukur nembalan bari nyentak “bongan sorangan, naha atuh sare wae batur di gawe teh, lain nuhun di embohan ku dongeng teh…” ngan hing wae si kabayan teh ceurik bakating ku handeueuleun jaba ari balik ku barudak di poyokan bari di abring-abring “…penjol….penjol….”
Dongeng bahasa sunda, si kabayan
ngalamun
Mitoha si kabayan keuheuleun
pisan, sabab si kabayan sok ngalamun wae. di gawe bari ngalamun, dahar bari
ngalamun, mandi bari ngalamun komo di pacilinganmah mani beuki anteng ngalamuna
teh…
sakali mangsa si kabayan manggih
endog meri, ngagoler dina jarami di sawah mitohana, si kabayan atoheun pisan,
gancang endog meri teh di bawa kaimah de
tembongkeun ka pamajikanana.
“sukur, ka dieu urang kulub, keu
si encid (budakna red.)” ceuk pamajikan si kabayan.
“montong” tembal si kabayan,
“anggurmah rek di pegarkeun, di pilukeun kana hayam bapa, nu ayeuna keur
nyileungleum” tembal si kabayan. ti dinya endog teh di teundeun hareupeunnana
bari di taksir.
“kumaha akang wae atuh, ngan
ayeuna mihape budak, uing rek ngisikan heula” ceuk pamajikan si kabayan bari
ngajinjing boboko rek ngisikan di pancuran.
si kabayan cingogo di harudum
sarung bari nyanghareupan endog. budak mah di antep wae sina kokorondangan dina
palupuh, ari manehna anteng ngalamun deui, kieu ngalamuna teh….
“endog teh pasti megar, heug
bikang, engke pasti ngendog deui. umpamana wae ngendogna sapuluh terus di
pegarkeun deui, megar deui jadi boga sabelas meri tah, pek kabeh ngendog deui,
mun endogna sapuluhan jadi boga 110 endog, beuki lila meri teh beuki loba.
endogna oge pasti beuki loba. aing rek jadi bandar endog, endog di jualan aing
jadi loba duit. duitna di beulikeun domba bikang. domba na baranahan tepi ka
aing loba domba, dombana di jual kapasar, terus di beulikeun munding sarakit,
munding oge baranahan, aing bakal loba munding… adeuh..huhuy… munding aing mani
rendang di sawah…….”
keur kitu, geprak wae endog si
kabayan teh di baledog ku pamajikanana tepi ka peupeus, sihoreng endog teh
kacingcalang.
“kabayan, cing atuh kana ngalamun
teh mani kamalinaan, tuh tenjo si encid mani buncunur sirahna tidagor kana
tihang, da di antep wae…”
si kabayan kalahka molotot ka
pamajikannana.
“kunaon munding aing di ruksak ku
maneh..? rasakeun ieu paneunggeul..” ceuk si kabayan bari ngamang-ngamang sapu.
pamajikan si kabayan sieuneun,
tuluy lumpat ka imah kolotna, bari ngais budak. si kabayan ngudag bari angger
ngamang-ngmang sapu.
mitohana norojol ti imah, tuluy
nanya ka si kabayan.
“ku naon maneh teh kabayan kawas
nu teu eling..”
“bongan munding uing di ruksak ku
si iteung..”
“na timana maneh boga munding…?”
“pan tina ngajual ladang endog
asal na mah..” tembal si kabayan
“bohong ketang, ngalamun wungkul,
barina ge endogna kacingcalang..” si iteung nambalang
“euh kitu..” ceuk mitoha si
kabayan..” paingan atuh kebon aing, mani ledug di ranjah munding, ari maneh
boga munding mah, hayoh gantian, mun teu di gantian di laporkeun ka pulisi..”
“ampun pa..” ceuk si kabayan ”
abdimah teu gaduh bulu-buluna acan munding teh, eta mah lalamunan. hayu iteung
urang balik..” si kabayan ngajak balik kapamajikanana.
mitohana gogodeg.
isukna si kabayan dititah ngala
kalap ku mitohana, tina sapuluh kalapa, si kabayan bakal di buruhan kalapa sa
hulu. si kabayan atoheun pisan, terekel wae naek kana tangkal kalapa rek ngala
kalapa nu kolot.
barang nepi ka luhur tuluy diuk
sidengdang dina sela-sela dahan kalapa, teng wae ngalamun.
“buruh ngala kalapa rek di jual,
ladangna di beulikeu kana endog hayam, tuluy di pegarkeun, pek di ingu. hayamna
beuki loba, endogna ge rea deuih, endog di jual ka pasar, aing jadi bandar
endog. tina ladang endog aing rek meuli domba, domba oge ngareaan…. aing jadi
bandar domba, tina bati domba aing rek meuli munding… eh ketang moal, moal
meuli munding bisi ngaruksak sawah mitoha… ah rek meuli kuda wae. kudana kuda
balap.. kuda ustrali nu jangkung tea, aing jokina…plok..plok kudana di
lumpatkeun…”
bari ngalamun kitu teh si kabayan
reurendeukan dina palupuh kalapa.
“kuda teh beuki tarik lumpatna…
horseh kotoplak…kotoplak……” sikabayan beuki motah wae diukna dina palapah
kalapa, tepi ka palapah teh pepelenoyan. kulantaran motah teung palapah teh potong,
sikabayan ngoleang kabawa ku palapah kalapa. gebrus wae ka balong. untungna
kalapa teh sisi balong, si kabayan pipina bared keuna regang awi, sukuna
tipalitek, untung teu maot oge.
ti harita sibayana kapokeun deui
ngalamun dina tangkal kalapa…..
Dongeng
bahasa sunda, si kabayan ngala tutut
Cék Ninina, “Kabayan ulah héés
beurang teuing, euweuh pisan gawé sia mah, ngala-ngala tutut atuh da ari nyatu
mah kudu jeung lauk.”
Cék Si Kabayan, “Ka mana
ngalana?”
Cék ninina, “Ka ditu ka sawah
ranca, nu loba mah sok di sawah nu meunang ngagaru geura.
Léos Si Kabayan leumpang ka sawah
nu meunang ngagaru. Di dinya katémbong tututna loba, lantaran caina hérang,
jadi katémbong kabéh. Tututna pating golétak. Tapi barang diteges-teges ku Si
Kabayan katémbong kalangkang langit dina cai. Manéhna ngarasa lewang neuleu
sawah sakitu jerona. Padahal mah teu aya sajeungkal-jeungkal acan, siga jero
sotéh kalangkang langit. Cék Si Kabayan dina jero pikirna, “Ambu-ambu, ieu
sawah jero kabina-bina caina. Kumaha dialana éta tutut téh? Lamun nepi ka teu
beunang, aing éra teuing ku Nini. Tapi éta tutut téh sok dialaan ku jalma. Ah,
dék dileugeutan baé ku aing.”
Geus kitu mah Si Kabayan léos
ngala leugeut. Barang geus meunang, dibeulitkeun kana nyéré, dijejeran ku awi
panjang, sabab pikirna dék ti kajauhan baé ngala tutuna moal deukeut-deukeut
sieun tikecebur. Si Kabayan ngadekul, ngaleugeutan tutut méh sapoé jeput, tapi
teu aya beubeunanganana, ngan ukur hiji dua baé. Kitu ogé lain beunang ku
leugeut, beunang sotéh lantaran ku kabeneran baé. Tutut keur calangap,
talapokna katapelan ku leugeut tuluy nyakop jadi beunang. Lamun teu kitu mah
luput moal beubeunangan pisan, sabab ari di jero cai mah éta leugeut téh teu
daékeun napel, komo deui tutut mah da aya leuleueuran. Di imah ku ninina
didagoan, geus ngala salam, séréh jeung konéng keur ngasakan tutut. Lantaran
ambleng baé, tuluy disusul ku ninina ka sawah. Kasampak Si Kabayan keur
ngaleugeutan tutut.
Cék ninina, “Na Kabayan, ngala
tutut dileugeutan?”
Cék Si Kabayan, “Kumaha da sieun tikecebur,
deuleu tuh sakitu jerona nepi ka katémbong langit.”
Ninina keuheuleun. Si Kabayan
disuntrungkeun brus ancrub ka sawah.
Cék Si Kabayan, “Heheh él da
déét.”
Kuya
Nyieun Suling
Sakadang kuya manggih tulang maung ti
leuweung. Ceuk pikirna alus lamun
dijieun suling. Ngan kusabab
menehna mah teu bisaeun ngaliangan, kapaksa menta
tulung ka sakadang bangbara. Sanggeus diliangan tulang
maung teh bisa ditiup.
“Tret trot tret trot,
suling aing tulang maung,
diliangan ku bangbara,
torotot heong.”
Ngan ceuk pikir kuya masih keneh kurang
alus, kudu ditroktrokan heula. Harita
keneh manehna nepungan sakadang
caladi. Kabeneran caladi teh daekeun. Sanggeus
ditroktrokan mah suling teh rada
alus.
“Tret trot tret trot,
suling aing tulang maung,
diliangan ku bangbara,
ditroktrokan ku caladi,
torotot heong.”
Sakadang kuya ngarasa can sugema, sabab
ceuk rasana suling teh tacan sampurna. Keur nyampurnakeunana kudu dipasieup
heula. Ceuk dina pikir kuya nu ahli masieup teu aya deui lian ti sakadang
sireupeun. Harita keneh kuya indit nepungan sireupeun. Sanggeus dipasieup
suling teh ditiup deui.
“Tret trot tret trot,
suling aing tulang maung,
diliangan ku bangbara,
ditroktrokan ku caladi,
dipasieup ku sireupeun,
torotot heong.”
GAGAK HAYANG KAPUJI
Aya gagak maling dengdeng ti
pamoean. Geleber hiber bari ngaheumheum dengdeng tea kana tangkal dadap sisi
lembur. Kabeneran harita katangeneun ku anjing nu kacida kabitaeunana da puguh
kabeukina. Kusabab kitu, ku anjing disampeurkeun. Tapi sanggaus anjing aya
dihandapeun, boro-boro ditanya teu direret-reret acan.
Anjing mikir piakaleun supaya dendeng
tea kapimilik ku manehna. Sanggeus manggih anjing ngomong, Leuh aya manuk
alus-alus teuing. Pamatukna panjang bulu hideung tapi mani lemes kitu. Manuk
naon nya ngaranna? Kawasna mah moal aya tandingna dibandingkeun jeung
cendrawasih ge moal eleh.”
Mimitina mah omongan anjing teh teu
didenge . Tapi sanggeus aya omongan moal eleh ku cendrawasih, gagak atoheun
pisan. Manehna kungsi beja yen cendrawasih teh
manuk pang hadena. Tapi ceuk anjing manehna moal eleh”. Kitu nu matak
manehna ngarasa ngeunah kupamuji anjing. Malah ceuk pikirna deui asa haying
ngabagi dengdeng jeung anjing. Ngan kusabab hese meulahna kahayangna teu
kalaksanakeun.
Anjing nempo beungeut gagak marahmay
sanggeus dipuji ku manehna. Ceuk pikirna pasti usahana hasil. Ceuk pikirna deui
naon hesena muji-muji keur ngahontal kahayangna.Kusabab kitu pok deui
anjing,”Lamun daekeun mah haying nyobat jeung manuk nu sakitu lucuna. Ngan
rumasa sorangan mah sato hina. Saumur-umur kudu ngadunungan, sare digolodog,
rajeun manggih hakaneun oge pasesaan. Tapi najan teu bisa nyobat oge jeung
manuk lucu, atuh ngadenge-ngadenge sorana. Meureun moal panasaran teuing!”.
Barang ngadenge pamuji anjing anu
sakitu ngeunahna, gagak poho keur ngaheumheum dengdeng, ngan ngong we disada,
“Gaak Gaaak” cenah. Atuh barang engab pamatukna barang pluk we dengdeng
teh murag. Anjing gancang nyantok
dengdeng nu murag tea tuluy dihakan di nu bala.
Gagak nu hanjakaleun mah teu ditolih.
Sababaraha jongjonan gagak teh cindekul we dina dahan bari ngararasakeun teu
ngeunahna ku kalakuan anjing. Manehna karek ngarti yen anjing muji bebeakan
teh haying dengdeng nu keur diheumheum
ku manehna.
Ti dinya mah geleber gagak
teh hiber kana tangkal kai rek neangan
hileud keur ganti dengdeng nu disantok ku anjing.
Kuda
Hade Budi
Aya Maung eukeur mah geus kolot
katambah gering, ngalungsar handapeun tangkal kai bari gegerungan. Sato-sato nu
kungsi menang kanyeri ti manehna ngarumpul ngariung nu keur gegerungan tea.
Ceuk Munding, “Ah siah make gegerungan! Rek nyambat ka saha? Moal aya nu
nyaaheun ka sia mah! Sato jahat!” Munding ngomongna kitu bari ngagadil nu keur
gegerungan. Nempo kalakuan Munding kitu sakur sato nu harita aya di dinya
sareuri akey-akeyan.
Kabeh sato nu aya di dinya
ngaheureuykeun Maung nu keur sakarat, kajaba sakadang Kuda. Nempo sato-sato
sejen galumbira teh manehna mah ukur gogodeg. Ceuk Domba, “Kunaon sakadang Kuda
kalah gogodeg kitu? Lain tejeh tah si Belang teh ku sampean! Lain baheula si
Belo ditekuk?” Tembal Kuda, “Kaula mah lain teu ngewa kana kalakuan Maung teh.
Ngan waktu ieu kaayaanana pan keur gering parna. Manehna teh keur sakarat,
sakeudeung deui oge paeh. Kuduna mah sato nur keur sakarat teh ulah
dihareureuykeun kitu. Meureun ceuk batur teh, rajeun aya kawani ka anu keur
sakarat!” Sanggeus ngadenge omongan Kuda kitu, sakur sato nu aya di dinya jempe
sarta patinglaleos ka leuweung deui.
Dicutat tina: Bacaan Barudak “Kuda Hade Budi”
Sasakala
Heulang Ngahakan Hayam :: Dongeng
ilustrasi: MangleBaheula aya dua
sobat nya éta heulang jeung hayam jago. Duanana nyobat pisan, tara pahiri-hiri
sok silah tulungan. Unggal poé ogé manéhna sok babarengan néangan hakaneun.
Dina hiji poé, nalika keur
néangan hakaneun teu kanyahoan aya ajag nyampeurkeun rék ngerekeb hayam jeung
heulang. Heulang gancang luncat terus hiber. Tapi hayam najan lumpat ge da teu
bisa hiber diudag-udag terus.
Nempo kitu, heulang buru-buru
ngabantuan sobatna nyakaran ajag ku kuku-kukuna. Nepikeun ka awak ajag téh
garetihan. Hayam nyumput dina guha da ari geus garetihan mah ajag téh teu
ngudag deui. Lila-lila mah ajag terus mulang ka baturna.
“Kaluar sobat, da ajag téh geus
kabur,” ceuk heulang ka sobatna.
“Nuhun pisan heulang geus mantuan
kuring,” ceuk hayam.
Ti harita hayam jago jadi
borangan jeung resep nyorangan. Hayam karék sadar yén heulang boga pangabisa
anu punjul ti manéhna. Heulang bisa ngapung.
“Euh ngeunah pisan euy lamun bisa
ngapung,” gerentes hayam dina haténa.
Mang poé-poé hayam mikiran heulang
anu bisa ngapung, basa manéhna rék dikerewek ku ajag. Keur kitu teu kanyahoan
heulang datang tina tatangkalan saluhureun tempat cicing hayam jago.
“Ku naon sobat, sigana anjeun
keur boga kabaluweng atawa gering?”
“Henteu, teu kunanaon tapi kuring
rék nanya ka anjeun, ku naon anjeun bet bisa ngapung luhur, ari kuring teu bisa
luncat-luncat acan?”
“Baheula kuring gé teu bisa
ngapung, tapi sanggeus kuring ngaputan kadua jangjang kuring ku jarum emas
kuring jadi bisa ngapung jeung harampang.”
“Atuh lamun kitu mah kuring
nginjeum jarum emas téa téh rék dipaké ngaputan jangjang anu kuring.”
“Teu nanaon, asal anu dikaputna
dua jangjang anjeun améh hampang. Ngan omat ulah incah balilahan jeung ulah
diinjeumkeun ka nulian!”
Heulang mikeun jarum emas ka
hayam jago. Atuh hayam jago téh ajrag-ajragan ngarasa gumbira. Teu talangkée
hayam jago ngaputan jangjangna, tapi hayam jago teu sabaran, can gé réngsé
ngaputna, hayam jago geus ngéplék-ngéplékeun jangjangna terus luncat kana luhur
pager.
“Asik uing bisa ngapung asik bisa
ngapung.”
Keur kitu teu kanyahoan aya hayam
bikang nempoeun kalakuan hayam jago téa.
“Héy jago ku naon manéh bisa
luncat kana pager jeung bisa ngapung deiuh?”
“Jangjang kuring téh dikaputan ku
ieu jarum emas.”
“Cing atuh jago kuring nginjeum
da kuring gé hayang bisa ngapung kawas anjeun.”
“Nya ieuh tapi mun geus bisa
ngapung kudu luncat ka gigireun kuring.”
Hayam bikang buru-buru ngaputan
jangjangna. Can gé anggeus, hayam bikang geus luncat ka gigireun hayam jago.
Hayam bikang keketok mani daria. Kitu deui hayam jago kongkorongok bari
adigung.
“Mana jarum emas tadi? Hayam jago
inget ka jarum emas.”
“Eh tadi diteundeun dina taneuh,”
ceuk hayam bikang.
Hayam téh luncat ka handap
néangan jarum emas. Hayam téh duanana bari cacakar néangan jarum emas téa. Kokoréh
ka unggal tempat. Tapi maranéhna teu manggihan emas nu ditéangan téa.
Hiji poé, heulang dating rék
nagih jarum emas téa.
“Wah isuk kénéh geus kokoréh,
geus bisa ngapung acan?” ceuk heulang.
“Ah kuring mah ngan bisa luncat
saluhur pager, ngan da nya éta jarumna kaburu leungit. Kuring néangan bari
kokoréh angger teu kapanggih.”
Heulang reuwas ngadéngé laporan
hayam téh. Heulang ambek kacida.
“Anjeun geus ingkar janji pajar
moal incah balilahan jeung moal nginjeumkeun jarum emas téa. Kula haroréam sosobatan
jeung anjeun,” heulang hiber.
Nya ti danget harita hayam sok
risi mun inget kana amarahna heulang. Mun ningali heulang nu ngalayang di
luhureunana, hayam téh sok taki-taki najan kapeungna mah sok nyamber anakna.
Tah éta nu jadi sabab hayam sok
kokoréh jeung cacakar kana taneuh éta téh néangan jarum emas. Salila jarum emas
can kapanggih heulang jangji bakal nyamberan anak hayam.*** (Galura)
Sasakala Gunung Kendang
JAMAN baheula kacaritakeun aya hiji jelema nu ngaran Ki
Sutaarga. Ngabogaan maksud hajat bari nanggap wayang.
Ari lalakonna nu dipikahayangku manéhna supaya dipidangkeun, nyaéta
lalakon nu paling dipantang kudalang. Éta lalakon meunang dipidangkeun, tapi
teu meunang nepi ka tamatna.Sabah lamun tamat biasana sok aya kajadian nu teu
dipikahayang.Tapi Ki Sutaarga keukeuh peteukeuh hayang nyaho éta lalakon nepi
ka tamatna.Pokna kajeun mayaran sakumaha, moal burung dibayar asal éta lalakondipidangkeun
nepi ka tamatna.Pok Ki Dalang sasauran.“Heug waé dipidangkeun nepi ka
tamatna, asal ongkosna waé dibayar tiheula?”Teu loba carita, gocrak baé dibayar
sapaménta dalang téa, ku Ki Sutaagra téh.Atuh kasurung ku ongkos nu gedé, ger
waé ngawayang anu pohara raména.Sindénna nu katelah Nyai Astrakembang, anu
hérang méncrang, ceuk barudak ayeuna mah siga enyoy-enyoyan, ngoléar
tembang hégar pisan.Atuh panongton daratang ti suklakna ti siklukna. Éstuning
ramé pisan aréak-aréakan, nguping sora sindén anu ngagalideng halimpu pisan.
Barang lalakonampir tamat geus deukeut subuh, torojol dua jelema anu maké
pakéan saragamupas kabupatén. Éta upas téa nepikeun paréntah Bupati, nu
maksudna supayaéta dalang, sindén, para nayaga, katut gamelan sapuratina, dibawa
ngadeuheuska kanjeng Bupati. Cenah ditunggu pisan.Atuh dalang téh cuh-cih jeung
cakah-cikih paparéntah ka batur baturna
kudu bébérés. Sarta manéhna bébéja ka Ki Sutaarga téa yén disaur ku Bupati.Kacaturkeun
bring arindit diiringkeun ku upas nu duaan ngajugjug ka
tempat panglinggihan Bupati. Jalanna lempeng molongpong, éstuning senang pisanleuleumpangan
henteu loba sumarimpang.Caritana nu ngalabring téa géus nepi ka nu dijugjug.
Breg ngarimpak rareureuhdihareupeun gedong Kabupatén, harita téh géus rék bray-brayan
beurang.Tapi anéh bin ajaib! 11
Éta
dua Upas teu araya, kabupatén ogé suwung, leungit tampa lebih ilang
tampakarana. Sakabéh nu hadir musna teu ngaho kamana leosna. Nu aya
sesana
ngangamelan-gamelan téa. Kasur nu digulungkeun urut diuk sindén, kabéh
robahngajadi batu. Tug nepi ka kiwari, nelah gunungna disebut
Gunung Kendang.Dina mangsa nu geus kaliwat. Dina malem Salasa atawa
Jum’ah
kaliwon sok aya raraméan siga nu keur hiburan. Sora sindén gagalindeng
angin-anginan.Sora panjak nu senggak. Sora gamelan nangnéngnong.
Ditempas ku
sorakendang, dung plak dung plak, écés pisan. Dipungkas ku sora-sora
goong,
éar nu surak nu senggak, kakuping ramé pisan.Loba jelema katipu.Ti
lembur nu beulah Kidul Gunung Kendang, saperti Cikareo,
Bantarpeundeuy, jeung nu séjénna. Nu dek lalajo ngabring, manéhna nyangka aya kariaan dikampung
Cibitung.
Urang lembur Kaléreun Gunung Kendang, nyangkayénnunanggap wayang téh
di Cikarosea atawa Bantar peundeuy.Burusut nu lalajo ngabring nuju ka
beulah
Kidul. Dijalan abringan nu ti
Kalér jeung nu ti Kidul pasanggrok, terus silih tanya, dimana aya nu kariaan téh.Masing-masing
ting
polongo, teu aya nu bisa ngajelaskeun. Terus baralik kalayan haténa
marurukusunu keuheul ngarasa katipu.Kaanéhan Gunung Kendang nyaéta
balatak
batu-batu nu siga kendang, goong,anggél, guguling, jeung gulungan kasur.
Anu
siga gulungan kasur réana ayaopat bélas, anu nangtung anu ngedéng. Anu
siga
guguling panjangna hijisatengah méter. Gunung Kendang ayana di Désa
Sukamukti
KacamatanCisompét Kabupatén Garut, dikomplék Kahutanan nu katelah Blok
Jagasatru.
|
12
Jonggrang Kalapitung
Ku:
Budi Rahayu TamsyahHidep kungsi ulin ka Jatiluhur? Jatiluhur téh
perenahna di Purwakarta. Di dinyaaya bendungan anu lega. Katelahna
Bendungan Jatiluhur. Ari anu dibendungnaWalungan Citarum. Éta
bendungan téh gedé pisan mangpaatna. Dipaké pikeunrupa-rupa
kaperluan.Caina
dipaké pembangkit tanaga listrik, anu listrikna dipaké di sakuliah
PuloJawa.
Salian ti éta dipaké pikeun irigasi deuih. Nyaian sawah-sawah anu aya
dikalér,
saperti di Purwakarta, Karawang, jeung Subang. Terus parat nepi kaBekasi
jeung
Jakarta. Malah cai beresih anu aya di éta wewengkon, umumnamah asalna
téh ti
Jatiluhur.Teu saeutik deuih anu miara lauk di Jatiluhur, maké jaring anu
disebut
“kolam jaring terapung”. Jatiluhur ogé jadi obyék wisata andelan. Salian ti pamandanganana éndah, geus diwangun obyék wisata modern deuih. Sapertiwaterboom
jeung
kolam renang. Atuh keur nu resep nguseup, di Jatiluhur ogéloba tempat
paranti nguseup.Tapi jaman baheula mah, baheulaning baheula, cenah di
sabudeureun Jatiluhur téh, masih kénéh mangrupa leuweung geledegan.
Rembet
ku kakayon,caranéom jeung geueumeun. Lolobana tangkal jati, galedé jeung
jarangkung.Tangkalna sagedé-gedé beuteung munding. Can jadi bendungan
cara
ayeuna.Malah can aya lembur-lembur acan.Leuweung sanget pikasieuneun.
Anu matak
tara aya jalma anu lunta-lanto kadinya. Dina kapaksana ogé, teu weléh
sanduk-sanduk ka nu ngageugeuh didinya. Ari anu ngageugeuh di éta
leuweung
katut gunung-gunung disabudeureunana, hiji lelembut titisan siluman
jaman
Sangkuriang. NgarannaJonggrang Kalapitung.Awakna jangkung badag tanding
gunung.
Kulitna hideung lestreng tandingareng. Bulu kumisna sagedé-gedé tambang
injuk.
Buukna gimbal cawigwigngarerewig. Kakara oyag lamun katebak angin
baliung. Éstu
pikagilaeun
jeung pikasieuneun pisan. Mun ngomong, sorana handaruan tanding gugur. Héséngabédakeunana,
keur
leuleuy atawa keur ambek.
Si
Kabayan Meuleum Lauk :: Dongengilustrasi:
Mangle
Deungeun sanguna saaya-aya. Mun tas balik mah teu hésé, dan dibekelan ku kolotna, surundéng, kéré lauk, jeung sajabana. Mun teu boga deungeun sangu, Si Kabayan sok nyair di solokan leutik nu teu jauh di kobongna sakalian bari néangan suluh keur ngaliwet, kawantu jaman baheula mah teu usum minyak tanah atawa LPG. Mun nyair, sakapeung teu beubeunangan, sakapeung mah meunang berenyit, lélé, hurang, belut, jeung lauk nu palid ti balong.
Hiji mangsa, waktu isuk-isuk nyair di solokan, Si kabayan meunang anak lauk emas sagedé indung leungeun dua siki. Atuh atoheun pisan. Laukna diteundeun buni pisan, bisi dihakan ucing. Si Kabayan ngaliwet, sanggeus asak teu terus meuleum lauk.
“Moal waka dibeuleum bisi babaturan ménta, engké uing moal kabagéan,” ceuk haténa. Atuh baturna dalahar, Si Kabayan mah kalah ka kekedengan.
“Can hayang dahar, teu ngarareunah awak,” pokna waktu ditanya kubabaturanana.
Réngsé dalahar babaturanana kalaluar ti kobong rék arulin, Si Kabayan hudang, terus muru hawu. Ngan seuneuna geus pareum, geus euweuh ruhayan, malah hareupeun hawuna dihéésan ucing. Ku Si kabayan ucingna digebah, tuluy mirun seuneu, suluhna tapas. Sanggeus tapasna ruhay, anak lauk emas dibeuleum. Bari ngadagoan beuleum lauk asak, Si Kabayan ngala céngék ti pipir kobong, diréndos makeé uyah dina coét.
Geus kitu, ngeduk liwet tina kastrol, diwadahan kana piring séng. Si Kabayan muru hawu, leungeun katuhuna nanggeuy piring séng, leungeun kencana nyekel coét. Barang diteang, tapasna geus pareum kawntu tapasna ngan hiji, malah geus ampir jadi lebu. Atuh beuleum laukna téh kurumuy, hideung jeung pinuh lebu, geus teu mangrupa lauk. Ku Si Kabayan dikoréhan. Kacida pisan heraneunana, sabab beuleum laukna téh ata tilu.
“Ti mana hiji deui? Tadi mah meuleumna ngan dua. Babaturan pohoeun kitu? Ah, milik mah timana waé,” ceuk Si kabayan dina haténa.
Si Kabayan nyait beuluem anak lauk emas hiji, diasaan , enya lauk, lauk nu hiji beak, Si Kabayan nyait deui lauk nu hiji deui. Diasaan heula, bener lauk. Si Kabayan nuluykeun deui daharna sangu liwetna, mani ngalimed. Ku sabab lapar kénéh, Si Kabayan nyiuk deui sangu, terus nyait beuleum lauk nu katilu. Waktu diasaan, Si kabyan nyengir, sabab rasana haseum jeung bau. “Ucing bangkawarah,” pokna gegelendeng, léos ka cai, kekemuna leuwih ti sapuluh kali. *** (AG, diropéa tina carita Si Kabayan nu asalna ti Banten / Galura)
Langganan:
Postingan (Atom)