Sabtu, 07 Juni 2014

IMAM BONJOL



Nama : Anisa Wulansari
Kelas : XI IPA 1
Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838.[1] Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.[2]
Nama dan gelar
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[3] Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Riwayat perjuangan
Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (bid'ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).[4] Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. [5] Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).[5]
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)[6] yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.


cut nya dien



Nama : Iin Indriani
Kelas : XI IPA 1
Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang.[1] Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.[2][3] Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Kehidupan awal
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau[2][4]. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.[2] Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga[2][4], putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.


Perlawanan saat Perang Aceh

Rencong merupakan senjata tradisional milik Suku Aceh. Cut Nyak Dhien menggunakan Rencong sebagai salah satu alat perang untuk melawan para tentara Kerajaan Belanda pada saat Kerajaan Belanda menyerang Kerajaan Aceh dan membakar Masjid Raya Baiturrahman di tahun 1873.
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang mbertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.
J.B. van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.[2]
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.


Selasa, 28 Januari 2014

CONTOH DONGENG BAHASA SUNDA

CONTOH DONGENG BAHASA SUNDA

CONTOH DONGENG BAHASA SUNDA
Dongeng Bahasa Sunda " Si Kabayan Dicukur"

si kabayan teh kandulan pisan. ari kandulan teh jahe=jago he-es (beuki sare), teu kaop nyangkere atawa nyarande sok ker wae kerek.

sakali mangsa si kabayan teh di cukur. di cukurna handapeun tangkal gede disisi jalan supratman. ari tukang cukur teh ruruntuk dalang, tadina hayang jadi dalang tapi teu kataekan, kalah jadi tukang cukur. teu wudu payu nyukurna teh da eta ari nyukur sok bari ngadalang.

si kabayan ti barang gek diuk dina korsi panyukuran geus lelenggutan wae nundutan. saperti biasa tukang cukur teh ari ceg kana gunting jeung sisir tuluy wae ngabuih… ngadalang, pok na teh…. “tah kacatur keun di nagara alengka, rajana jenengan Dasamuka…. ari dasa hartina sapuluh… ari muka eta hartosna beungeut atanapi raray… “. si kabayan nu keur ngalenggut ngarasa ka ganggu ku nu keur ngadalang, bari heuay si kabayan nyarita “pondokeun wae mang…”  trek-trek tukang cukur teh ngaguntingan buuk si kabayan bari pok deui… ” ari geus kitu… eta Dasamuka teh bogoh ka dewi Sinta, geureuhna sri Rama… ” “pondokeun wae mang…”ceuk si kabayan nyaritana selang seling antara inget jeung heunteu bakating ku tunduh, teu lila reup deui sare….. lilir sakeudeung, tukang cukur teh keur ngadongeng keneh, ..” urang tunda dewi Sinta nu keur di Alengka, sabab di paling ku Rahwana…. caturkeun sri Rama….” si kabayan asa ka ganggu sarena terus nyarita bari lulungu “pondokeun mang….”….terus reup deui peureum. trek..trek tukang cukur ngaguntingan buuk si kabayan bari nuluykeun ngadongengna. ari tiap si kabayan lilir, tukang cukur teh keur ngabuih keneh wae ngadalang, tapi ari leungeunna mah tetep teu eureun-eureun ngaguntingan buuk si kabayan. si kabayan keuheuleun pisan sabab sarena kaganggu ku sora tukang cukur, nu sakapeung sok ngagerem nurutan sora buta atawa ngajerit nurutan sora dewi sinta basa di paling ku Rahwana… antukna si kabayan ngambek ka tukang cukur bari nyarita ” ceuk aing ge pondokeun…pondokeun…” tukang cukur nembalan “dipondokeun kumaha ieu geus lenang kieu..” ari ret si kabayan kana eunteung enya wae sirahna geus gundul teu sa lembar-lembar acan, puguh wae si kabayan teh ambek “nu dipondokeun teh dongeng maneh lain lain buuk aing…” si kabayan morongos, tukang cukur nembalan bari nyentak “bongan sorangan, naha atuh sare wae batur di gawe teh, lain nuhun di embohan ku dongeng teh…” ngan hing wae si kabayan teh ceurik bakating ku handeueuleun jaba ari balik ku barudak di poyokan bari di abring-abring “…penjol….penjol….”
Dongeng bahasa sunda, si kabayan ngalamun
Mitoha si kabayan keuheuleun pisan, sabab si kabayan sok ngalamun wae. di gawe bari ngalamun, dahar bari ngalamun, mandi bari ngalamun komo di pacilinganmah mani beuki anteng ngalamuna teh…
sakali mangsa si kabayan manggih endog meri, ngagoler dina jarami di sawah mitohana, si kabayan atoheun pisan, gancang endog meri teh di bawa  kaimah de tembongkeun ka pamajikanana.
“sukur, ka dieu urang kulub, keu si encid (budakna red.)” ceuk pamajikan si kabayan.
“montong” tembal si kabayan, “anggurmah rek di pegarkeun, di pilukeun kana hayam bapa, nu ayeuna keur nyileungleum” tembal si kabayan. ti dinya endog teh di teundeun hareupeunnana bari di taksir.
“kumaha akang wae atuh, ngan ayeuna mihape budak, uing rek ngisikan heula” ceuk pamajikan si kabayan bari ngajinjing boboko rek ngisikan di pancuran.
si kabayan cingogo di harudum sarung bari nyanghareupan endog. budak mah di antep wae sina kokorondangan dina palupuh, ari manehna anteng ngalamun deui, kieu ngalamuna teh….
“endog teh pasti megar, heug bikang, engke pasti ngendog deui. umpamana wae ngendogna sapuluh terus di pegarkeun deui, megar deui jadi boga sabelas meri tah, pek kabeh ngendog deui, mun endogna sapuluhan jadi boga 110 endog, beuki lila meri teh beuki loba. endogna oge pasti beuki loba. aing rek jadi bandar endog, endog di jualan aing jadi loba duit. duitna di beulikeun domba bikang. domba na baranahan tepi ka aing loba domba, dombana di jual kapasar, terus di beulikeun munding sarakit, munding oge baranahan, aing bakal loba munding… adeuh..huhuy… munding aing mani rendang di sawah…….”
keur kitu, geprak wae endog si kabayan teh di baledog ku pamajikanana tepi ka peupeus, sihoreng endog teh kacingcalang.
“kabayan, cing atuh kana ngalamun teh mani kamalinaan, tuh tenjo si encid mani buncunur sirahna tidagor kana tihang, da di antep wae…”
si kabayan kalahka molotot ka pamajikannana.
“kunaon munding aing di ruksak ku maneh..? rasakeun ieu paneunggeul..” ceuk si kabayan bari ngamang-ngamang sapu.
pamajikan si kabayan sieuneun, tuluy lumpat ka imah kolotna, bari ngais budak. si kabayan ngudag bari angger ngamang-ngmang sapu.
mitohana norojol ti imah, tuluy nanya ka si kabayan.
“ku naon maneh teh kabayan kawas nu teu eling..”
“bongan munding uing di ruksak ku si iteung..”
“na timana maneh boga munding…?”
“pan tina ngajual ladang endog asal na mah..” tembal si kabayan
“bohong ketang, ngalamun wungkul, barina ge endogna kacingcalang..” si iteung nambalang
“euh kitu..” ceuk mitoha si kabayan..” paingan atuh kebon aing, mani ledug di ranjah munding, ari maneh boga munding mah, hayoh gantian, mun teu di gantian di laporkeun ka pulisi..”
“ampun pa..” ceuk si kabayan ” abdimah teu gaduh bulu-buluna acan munding teh, eta mah lalamunan. hayu iteung urang balik..” si kabayan ngajak balik kapamajikanana.
mitohana gogodeg.
isukna si kabayan dititah ngala kalap ku mitohana, tina sapuluh kalapa, si kabayan bakal di buruhan kalapa sa hulu. si kabayan atoheun pisan, terekel wae naek kana tangkal kalapa rek ngala kalapa nu kolot.
barang nepi ka luhur tuluy diuk sidengdang dina sela-sela dahan kalapa, teng wae ngalamun.
“buruh ngala kalapa rek di jual, ladangna di beulikeu kana endog hayam, tuluy di pegarkeun, pek di ingu. hayamna beuki loba, endogna ge rea deuih, endog di jual ka pasar, aing jadi bandar endog. tina ladang endog aing rek meuli domba, domba oge ngareaan…. aing jadi bandar domba, tina bati domba aing rek meuli munding… eh ketang moal, moal meuli munding bisi ngaruksak sawah mitoha… ah rek meuli kuda wae. kudana kuda balap.. kuda ustrali nu jangkung tea, aing jokina…plok..plok kudana di lumpatkeun…”
bari ngalamun kitu teh si kabayan reurendeukan dina palupuh kalapa.
“kuda teh beuki tarik lumpatna… horseh kotoplak…kotoplak……” sikabayan beuki motah wae diukna dina palapah kalapa, tepi ka palapah teh pepelenoyan. kulantaran motah teung palapah teh potong, sikabayan ngoleang kabawa ku palapah kalapa. gebrus wae ka balong. untungna kalapa teh sisi balong, si kabayan pipina bared keuna regang awi, sukuna tipalitek, untung teu maot oge.
ti harita sibayana kapokeun deui ngalamun dina tangkal kalapa…..
Dongeng bahasa sunda, si kabayan ngala tutut
Cék Ninina, “Kabayan ulah héés beurang teuing, euweuh pisan gawé sia mah, ngala-ngala tutut atuh da ari nyatu mah kudu jeung lauk.”
Cék Si Kabayan, “Ka mana ngalana?”
Cék ninina, “Ka ditu ka sawah ranca, nu loba mah sok di sawah nu meunang ngagaru geura.
Léos Si Kabayan leumpang ka sawah nu meunang ngagaru. Di dinya katémbong tututna loba, lantaran caina hérang, jadi katémbong kabéh. Tututna pating golétak. Tapi barang diteges-teges ku Si Kabayan katémbong kalangkang langit dina cai. Manéhna ngarasa lewang neuleu sawah sakitu jerona. Padahal mah teu aya sajeungkal-jeungkal acan, siga jero sotéh kalangkang langit. Cék Si Kabayan dina jero pikirna, “Ambu-ambu, ieu sawah jero kabina-bina caina. Kumaha dialana éta tutut téh? Lamun nepi ka teu beunang, aing éra teuing ku Nini. Tapi éta tutut téh sok dialaan ku jalma. Ah, dék dileugeutan baé ku aing.”
Geus kitu mah Si Kabayan léos ngala leugeut. Barang geus meunang, dibeulitkeun kana nyéré, dijejeran ku awi panjang, sabab pikirna dék ti kajauhan baé ngala tutuna moal deukeut-deukeut sieun tikecebur. Si Kabayan ngadekul, ngaleugeutan tutut méh sapoé jeput, tapi teu aya beubeunanganana, ngan ukur hiji dua baé. Kitu ogé lain beunang ku leugeut, beunang sotéh lantaran ku kabeneran baé. Tutut keur calangap, talapokna katapelan ku leugeut tuluy nyakop jadi beunang. Lamun teu kitu mah luput moal beubeunangan pisan, sabab ari di jero cai mah éta leugeut téh teu daékeun napel, komo deui tutut mah da aya leuleueuran. Di imah ku ninina didagoan, geus ngala salam, séréh jeung konéng keur ngasakan tutut. Lantaran ambleng baé, tuluy disusul ku ninina ka sawah. Kasampak Si Kabayan keur ngaleugeutan tutut.
Cék ninina, “Na Kabayan, ngala tutut dileugeutan?”
Cék Si Kabayan, “Kumaha da sieun tikecebur, deuleu tuh sakitu jerona nepi ka katémbong langit.”
Ninina keuheuleun. Si Kabayan disuntrungkeun brus ancrub ka sawah.
Cék Si Kabayan, “Heheh él da déét.”
Kuya Nyieun Suling
        Sakadang kuya manggih tulang maung ti leuweung. Ceuk pikirna alus lamun
dijieun suling. Ngan kusabab menehna mah teu bisaeun ngaliangan, kapaksa menta
tulung ka  sakadang bangbara. Sanggeus diliangan tulang maung teh bisa ditiup.
        “Tret trot tret trot,
        suling aing tulang maung,
        diliangan ku bangbara,
        torotot heong.”
        Ngan ceuk pikir kuya masih keneh kurang alus, kudu ditroktrokan heula. Harita
keneh manehna nepungan sakadang caladi. Kabeneran caladi teh daekeun. Sanggeus
ditroktrokan mah suling teh rada alus.
        “Tret trot tret trot,
        suling aing tulang maung,
        diliangan ku bangbara,
        ditroktrokan ku caladi,
        torotot heong.”
        Sakadang kuya ngarasa can sugema, sabab ceuk rasana suling teh tacan sampurna. Keur nyampurnakeunana kudu dipasieup heula. Ceuk dina pikir kuya nu ahli masieup teu aya deui lian ti sakadang sireupeun. Harita keneh kuya indit nepungan sireupeun. Sanggeus dipasieup suling teh ditiup deui.
        “Tret trot tret trot,
        suling aing tulang maung,
        diliangan ku bangbara,
        ditroktrokan ku caladi,
        dipasieup ku sireupeun,
        torotot heong.”
GAGAK  HAYANG KAPUJI
Aya gagak maling dengdeng ti pamoean. Geleber hiber bari ngaheumheum dengdeng tea kana tangkal dadap sisi lembur. Kabeneran harita katangeneun ku anjing nu kacida kabitaeunana da puguh kabeukina. Kusabab kitu, ku anjing disampeurkeun. Tapi sanggaus anjing aya dihandapeun, boro-boro ditanya teu direret-reret acan.
         Anjing mikir piakaleun supaya dendeng tea kapimilik ku manehna. Sanggeus manggih anjing ngomong, Leuh aya manuk alus-alus teuing. Pamatukna panjang bulu hideung tapi mani lemes kitu. Manuk naon nya ngaranna? Kawasna mah moal aya tandingna dibandingkeun jeung cendrawasih ge moal eleh.”
          Mimitina mah omongan anjing teh teu didenge . Tapi sanggeus aya omongan moal eleh ku cendrawasih, gagak atoheun pisan. Manehna kungsi beja yen cendrawasih teh  manuk pang hadena. Tapi ceuk anjing manehna moal eleh”. Kitu nu matak manehna ngarasa ngeunah kupamuji anjing. Malah ceuk pikirna deui asa haying ngabagi dengdeng jeung anjing. Ngan kusabab hese meulahna kahayangna teu kalaksanakeun.
         Anjing nempo beungeut gagak marahmay sanggeus dipuji ku manehna. Ceuk pikirna pasti usahana hasil. Ceuk pikirna deui naon hesena muji-muji keur ngahontal kahayangna.Kusabab kitu pok deui anjing,”Lamun daekeun mah haying nyobat jeung manuk nu sakitu lucuna. Ngan rumasa sorangan mah sato hina. Saumur-umur kudu ngadunungan, sare digolodog, rajeun manggih hakaneun oge pasesaan. Tapi najan teu bisa nyobat oge jeung manuk lucu, atuh ngadenge-ngadenge sorana. Meureun moal panasaran teuing!”.
         Barang ngadenge pamuji anjing anu sakitu ngeunahna, gagak poho keur ngaheumheum dengdeng, ngan ngong we disada, “Gaak Gaaak” cenah. Atuh barang engab pamatukna barang pluk we dengdeng teh  murag. Anjing gancang nyantok dengdeng nu murag tea tuluy dihakan di nu bala.
          Gagak nu hanjakaleun mah teu ditolih. Sababaraha jongjonan gagak teh cindekul we dina dahan bari ngararasakeun teu ngeunahna ku kalakuan anjing. Manehna karek ngarti yen anjing muji bebeakan teh  haying dengdeng nu keur diheumheum ku manehna.
Ti dinya mah geleber gagak teh  hiber kana tangkal kai rek neangan hileud keur ganti dengdeng nu disantok ku anjing.
Kuda Hade Budi
        Aya Maung eukeur mah geus kolot katambah gering, ngalungsar handapeun tangkal kai bari gegerungan. Sato-sato nu kungsi menang kanyeri ti manehna ngarumpul ngariung nu keur gegerungan tea. Ceuk Munding, “Ah siah make gegerungan! Rek nyambat ka saha? Moal aya nu nyaaheun ka sia mah! Sato jahat!” Munding ngomongna kitu bari ngagadil nu keur gegerungan. Nempo kalakuan Munding kitu sakur sato nu harita aya di dinya sareuri akey-akeyan.
        Kabeh sato nu aya di dinya ngaheureuykeun Maung nu keur sakarat, kajaba sakadang Kuda. Nempo sato-sato sejen galumbira teh manehna mah ukur gogodeg. Ceuk Domba, “Kunaon sakadang Kuda kalah gogodeg kitu? Lain tejeh tah si Belang teh ku sampean! Lain baheula si Belo ditekuk?” Tembal Kuda, “Kaula mah lain teu ngewa kana kalakuan Maung teh. Ngan waktu ieu kaayaanana pan keur gering parna. Manehna teh keur sakarat, sakeudeung deui oge paeh. Kuduna mah sato nur keur sakarat teh ulah dihareureuykeun kitu. Meureun ceuk batur teh, rajeun aya kawani ka anu keur sakarat!” Sanggeus ngadenge omongan Kuda kitu, sakur sato nu aya di dinya jempe sarta patinglaleos ka leuweung deui.        Dicutat tina: Bacaan Barudak “Kuda Hade Budi”
Sasakala Heulang Ngahakan Hayam :: Dongeng
ilustrasi: MangleBaheula aya dua sobat nya éta heulang jeung hayam jago. Duanana nyobat pisan, tara pahiri-hiri sok silah tulungan. Unggal poé ogé manéhna sok babarengan néangan hakaneun.
Dina hiji poé, nalika keur néangan hakaneun teu kanyahoan aya ajag nyampeurkeun rék ngerekeb hayam jeung heulang. Heulang gancang luncat terus hiber. Tapi hayam najan lumpat ge da teu bisa hiber diudag-udag terus.
Nempo kitu, heulang buru-buru ngabantuan sobatna nyakaran ajag ku kuku-kukuna. Nepikeun ka awak ajag téh garetihan. Hayam nyumput dina guha da ari geus garetihan mah ajag téh teu ngudag deui. Lila-lila mah ajag terus mulang ka baturna.
“Kaluar sobat, da ajag téh geus kabur,” ceuk heulang ka sobatna.
“Nuhun pisan heulang geus mantuan kuring,” ceuk hayam.
Ti harita hayam jago jadi borangan jeung resep nyorangan. Hayam karék sadar yén heulang boga pangabisa anu punjul ti manéhna. Heulang bisa ngapung.
“Euh ngeunah pisan euy lamun bisa ngapung,” gerentes hayam dina haténa.
Mang poé-poé hayam mikiran heulang anu bisa ngapung, basa manéhna rék dikerewek ku ajag. Keur kitu teu kanyahoan heulang datang tina tatangkalan saluhureun tempat cicing hayam jago.
“Ku naon sobat, sigana anjeun keur boga kabaluweng atawa gering?”
“Henteu, teu kunanaon tapi kuring rék nanya ka anjeun, ku naon anjeun bet bisa ngapung luhur, ari kuring teu bisa luncat-luncat acan?”
“Baheula kuring gé teu bisa ngapung, tapi sanggeus kuring ngaputan kadua jangjang kuring ku jarum emas kuring jadi bisa ngapung jeung harampang.”
“Atuh lamun kitu mah kuring nginjeum jarum emas téa téh rék dipaké ngaputan jangjang anu kuring.”
“Teu nanaon, asal anu dikaputna dua jangjang anjeun améh hampang. Ngan omat ulah incah balilahan jeung ulah diinjeumkeun ka nulian!”
Heulang mikeun jarum emas ka hayam jago. Atuh hayam jago téh ajrag-ajragan ngarasa gumbira. Teu talangkée hayam jago ngaputan jangjangna, tapi hayam jago teu sabaran, can gé réngsé ngaputna, hayam jago geus ngéplék-ngéplékeun jangjangna terus luncat kana luhur pager.
“Asik uing bisa ngapung asik bisa ngapung.”
Keur kitu teu kanyahoan aya hayam bikang nempoeun kalakuan hayam jago téa.
“Héy jago ku naon manéh bisa luncat kana pager jeung bisa ngapung deiuh?”
“Jangjang kuring téh dikaputan ku ieu jarum emas.”
“Cing atuh jago kuring nginjeum da kuring gé hayang bisa ngapung kawas anjeun.”
“Nya ieuh tapi mun geus bisa ngapung kudu luncat ka gigireun kuring.”
Hayam bikang buru-buru ngaputan jangjangna. Can gé anggeus, hayam bikang geus luncat ka gigireun hayam jago. Hayam bikang keketok mani daria. Kitu deui hayam jago kongkorongok bari adigung.
“Mana jarum emas tadi? Hayam jago inget ka jarum emas.”
“Eh tadi diteundeun dina taneuh,” ceuk hayam bikang.
Hayam téh luncat ka handap néangan jarum emas. Hayam téh duanana bari cacakar néangan jarum emas téa. Kokoréh ka unggal tempat. Tapi maranéhna teu manggihan emas nu ditéangan téa.
Hiji poé, heulang dating rék nagih jarum emas téa.
“Wah isuk kénéh geus kokoréh, geus bisa ngapung acan?” ceuk heulang.
“Ah kuring mah ngan bisa luncat saluhur pager, ngan da nya éta jarumna kaburu leungit. Kuring néangan bari kokoréh angger teu kapanggih.”
Heulang reuwas ngadéngé laporan hayam téh. Heulang ambek kacida.
“Anjeun geus ingkar janji pajar moal incah balilahan jeung moal nginjeumkeun jarum emas téa. Kula haroréam sosobatan jeung anjeun,” heulang hiber.
Nya ti danget harita hayam sok risi mun inget kana amarahna heulang. Mun ningali heulang nu ngalayang di luhureunana, hayam téh sok taki-taki najan kapeungna mah sok nyamber anakna.
Tah éta nu jadi sabab hayam sok kokoréh jeung cacakar kana taneuh éta téh néangan jarum emas. Salila jarum emas can kapanggih heulang jangji bakal nyamberan anak hayam.*** (Galura)
Sasakala Gunung Kendang
JAMAN baheula kacaritakeun aya hiji jelema nu ngaran Ki Sutaarga. Ngabogaan maksud hajat bari nanggap wayang. Ari lalakonna nu dipikahayangku manéhna supaya dipidangkeun, nyaéta lalakon nu paling dipantang kudalang. Éta lalakon meunang dipidangkeun, tapi teu meunang nepi ka tamatna.Sabah lamun tamat biasana sok aya kajadian nu teu dipikahayang.Tapi Ki Sutaarga keukeuh peteukeuh hayang nyaho éta lalakon nepi ka tamatna.Pokna kajeun mayaran sakumaha, moal burung dibayar asal éta lalakondipidangkeun nepi ka tamatna.Pok Ki Dalang sasauran.“Heug waé dipidangkeun nepi ka tamatna, asal ongkosna waé dibayar tiheula?”Teu loba carita, gocrak baé dibayar sapaménta dalang téa, ku Ki Sutaagra téh.Atuh kasurung ku ongkos nu gedé, ger waé ngawayang anu pohara raména.Sindénna nu katelah Nyai Astrakembang, anu hérang méncrang, ceuk barudak ayeuna mah siga enyoy-enyoyan, ngoléar tembang hégar pisan.Atuh panongton daratang ti suklakna ti siklukna. Éstuning ramé pisan aréak-aréakan, nguping sora sindén anu ngagalideng halimpu pisan. Barang lalakonampir tamat geus deukeut subuh, torojol dua jelema anu maké pakéan saragamupas kabupatén. Éta upas téa nepikeun paréntah Bupati, nu maksudna supayaéta dalang, sindén, para nayaga, katut gamelan sapuratina, dibawa ngadeuheuska kanjeng Bupati. Cenah ditunggu pisan.Atuh dalang téh cuh-cih jeung cakah-cikih paparéntah ka batur baturna kudu bébérés. Sarta manéhna bébéja ka Ki Sutaarga téa yén disaur ku Bupati.Kacaturkeun bring arindit diiringkeun ku upas nu duaan ngajugjug ka tempat panglinggihan Bupati. Jalanna lempeng molongpong, éstuning senang pisanleuleumpangan henteu loba sumarimpang.Caritana nu ngalabring téa géus nepi ka nu dijugjug. Breg ngarimpak rareureuhdihareupeun gedong Kabupatén, harita téh géus rék bray-brayan beurang.Tapi anéh bin ajaib! 11
Éta dua Upas teu araya, kabupatén ogé suwung, leungit tampa lebih ilang tampakarana. Sakabéh nu hadir musna teu ngaho kamana leosna. Nu aya sesana ngangamelan-gamelan téa. Kasur nu digulungkeun urut diuk sindén, kabéh robahngajadi batu. Tug nepi ka kiwari, nelah gunungna disebut Gunung Kendang.Dina mangsa nu geus kaliwat. Dina malem Salasa atawa Jum’ah kaliwon sok aya raraméan siga nu keur hiburan. Sora sindén gagalindeng angin-anginan.Sora panjak nu senggak. Sora gamelan nangnéngnong. Ditempas ku sorakendang, dung plak dung plak, écés pisan. Dipungkas ku sora-sora goong, éar nu surak nu senggak, kakuping ramé pisan.Loba jelema katipu.Ti lembur nu beulah Kidul Gunung Kendang, saperti Cikareo, Bantarpeundeuy, jeung nu séjénna. Nu dek lalajo ngabring, manéhna nyangka aya kariaan dikampung Cibitung. Urang lembur Kaléreun Gunung Kendang, nyangkayénnunanggap wayang téh di Cikarosea atawa Bantar peundeuy.Burusut nu lalajo ngabring nuju ka beulah Kidul. Dijalan abringan nu ti Kalér  jeung nu ti Kidul pasanggrok, terus silih tanya, dimana aya nu kariaan téh.Masing-masing ting polongo, teu aya nu bisa ngajelaskeun. Terus baralik kalayan haténa marurukusunu keuheul ngarasa katipu.Kaanéhan Gunung Kendang nyaéta balatak batu-batu nu siga kendang, goong,anggél, guguling, jeung gulungan kasur. Anu siga gulungan kasur réana ayaopat bélas, anu nangtung anu ngedéng. Anu siga guguling panjangna hijisatengah méter. Gunung Kendang ayana di Désa Sukamukti KacamatanCisompét Kabupatén Garut, dikomplék Kahutanan nu katelah Blok Jagasatru.
|
 12
Jonggrang Kalapitung
Ku: Budi Rahayu TamsyahHidep kungsi ulin ka Jatiluhur? Jatiluhur téh perenahna di Purwakarta. Di dinyaaya bendungan anu lega. Katelahna Bendungan Jatiluhur. Ari anu dibendungnaWalungan Citarum. Éta bendungan téh gedé pisan mangpaatna. Dipaké pikeunrupa-rupa kaperluan.Caina dipaké pembangkit tanaga listrik, anu listrikna dipaké di sakuliah PuloJawa. Salian ti éta dipaké pikeun irigasi deuih. Nyaian sawah-sawah anu aya dikalér, saperti di Purwakarta, Karawang, jeung Subang. Terus parat nepi kaBekasi jeung Jakarta. Malah cai beresih anu aya di éta wewengkon, umumnamah asalna téh ti Jatiluhur.Teu saeutik deuih anu miara lauk di Jatiluhur, maké jaring anu disebut “kolam jaring terapung”. Jatiluhur ogé jadi obyék wisata andelan. Salian ti pamandanganana éndah, geus diwangun obyék wisata modern deuih. Sapertiwaterboom jeung kolam renang. Atuh keur nu resep nguseup, di Jatiluhur ogéloba tempat paranti nguseup.Tapi jaman baheula mah, baheulaning baheula, cenah di sabudeureun Jatiluhur téh, masih kénéh mangrupa leuweung geledegan. Rembet ku kakayon,caranéom jeung geueumeun. Lolobana tangkal jati, galedé jeung jarangkung.Tangkalna sagedé-gedé beuteung munding. Can jadi bendungan cara ayeuna.Malah can aya lembur-lembur acan.Leuweung sanget pikasieuneun. Anu matak tara aya jalma anu lunta-lanto kadinya. Dina kapaksana ogé, teu weléh sanduk-sanduk ka nu ngageugeuh didinya. Ari anu ngageugeuh di éta leuweung katut gunung-gunung disabudeureunana, hiji lelembut titisan siluman jaman Sangkuriang. NgarannaJonggrang Kalapitung.Awakna jangkung badag tanding gunung. Kulitna hideung lestreng tandingareng. Bulu kumisna sagedé-gedé tambang injuk. Buukna gimbal cawigwigngarerewig. Kakara oyag lamun katebak angin baliung. Éstu pikagilaeun jeung pikasieuneun pisan. Mun ngomong, sorana handaruan tanding gugur. Héséngabédakeunana, keur leuleuy atawa keur ambek.
Si Kabayan Meuleum Lauk :: Dongengilustrasi: Mangle
Ku bapana. Si Kabayan dititah masantrén di hiji lembur nu rada mencil. Masih kénéh tradisonal pasantrénna téh. Saréna di kobong ngampar samak jeung sababaraha urang baturna. Daharna sangu liwet. Ngaliwetna reremenna mah sorangan-sorangan, tapi sakapeung mah babarengan. Mun ngaliwetna dihijikeun sangu liwetna ditamplokeun kana cécémpéh nu diamparan daun cau, terus didalahar babarengan.

Deungeun sanguna saaya-aya. Mun tas balik mah teu hésé, dan dibekelan ku kolotna, surundéng, kéré lauk, jeung sajabana. Mun teu boga deungeun sangu, Si Kabayan sok nyair di solokan leutik nu teu jauh di kobongna sakalian bari néangan suluh keur ngaliwet, kawantu jaman baheula mah teu usum minyak tanah atawa LPG. Mun nyair, sakapeung teu beubeunangan, sakapeung mah meunang berenyit, lélé, hurang, belut, jeung lauk nu palid ti balong.

Hiji mangsa, waktu isuk-isuk nyair di solokan, Si kabayan meunang anak lauk emas sagedé indung leungeun dua siki. Atuh atoheun pisan. Laukna diteundeun buni pisan, bisi dihakan ucing. Si Kabayan ngaliwet, sanggeus asak teu terus meuleum lauk.

“Moal waka dibeuleum bisi babaturan ménta, engké uing moal kabagéan,” ceuk haténa. Atuh baturna dalahar, Si Kabayan mah kalah ka kekedengan.

“Can hayang dahar, teu ngarareunah awak,” pokna waktu ditanya kubabaturanana.

Réngsé dalahar babaturanana kalaluar ti kobong rék arulin, Si Kabayan hudang, terus muru hawu. Ngan seuneuna geus pareum, geus euweuh ruhayan, malah hareupeun hawuna dihéésan ucing. Ku Si kabayan ucingna digebah, tuluy mirun seuneu, suluhna tapas. Sanggeus tapasna ruhay, anak lauk emas dibeuleum. Bari ngadagoan beuleum lauk asak, Si Kabayan ngala céngék ti pipir kobong, diréndos makeé uyah dina coét.

Geus kitu, ngeduk liwet tina kastrol, diwadahan kana piring séng. Si Kabayan muru hawu, leungeun katuhuna nanggeuy piring séng, leungeun kencana nyekel coét. Barang diteang, tapasna geus pareum kawntu tapasna ngan hiji, malah geus ampir jadi lebu. Atuh beuleum laukna téh kurumuy, hideung jeung pinuh lebu, geus teu mangrupa lauk. Ku Si Kabayan dikoréhan. Kacida pisan heraneunana, sabab beuleum laukna téh ata tilu.

“Ti mana hiji deui? Tadi mah meuleumna ngan dua. Babaturan pohoeun kitu? Ah, milik mah timana waé,” ceuk Si kabayan dina haténa.

Si Kabayan nyait beuluem anak lauk emas hiji, diasaan , enya lauk, lauk nu hiji beak, Si Kabayan nyait deui lauk nu hiji deui. Diasaan heula, bener lauk. Si Kabayan nuluykeun deui daharna sangu liwetna, mani ngalimed. Ku sabab lapar kénéh, Si Kabayan nyiuk deui sangu, terus nyait beuleum lauk nu katilu. Waktu diasaan, Si kabyan nyengir, sabab rasana haseum jeung bau. “Ucing bangkawarah,” pokna gegelendeng, léos ka cai, kekemuna leuwih ti sapuluh kali. *** (AG, diropéa tina carita Si Kabayan nu asalna ti Banten / Galura)
Efek Blog